Kesempatan Kedua

Oleh Suheryana Bae

IMG 20180919 WA0015
Ilustrasi "Kesempatan Kedua". (Foto: Dok. Suheryana Bae)

ADA masa-masa dalam hidup yang kini terasa seperti mimpi. Masih jelas dalam ingatan, di tahun-tahun pertama pernikahan, betapa segalanya sederhana tapi penuh gairah. Kontrakan kecil sederhana, sepeda dan walkman yang setia menemani keseharian, makan sederhana masakan istri tercinta, belanja kecil ke toko di kota, dan berjalan di trotoar depan toko sambil berpegangan tangan. Hari-hari dipenuhi obrolan ringan, mimpi masa depan, dan tawa yang tidak ceria.

Waktu pun berjalan. Anak-anak lahir, karier mulai menuntut lebih, dunia di luar sana mengharuskan keterlibatan dalam berbagai aktivitas. Kesibukan kantor, acara-acara kemasyarakatan, kebutuhan untuk membangun relasi, semua itu satu per satu merebut jam-jam yang dulu kami miliki. Pulang ke rumah seringkali dengan tubuh lelah, pikiran rumit, dan tenaga yang tinggal sisa. Kadang, tanpa sadar, kami hanya berbagi diam, bukan lagi cerita. Ada rindu yang tertahan, tapi tak tahu bagaimana mengucapkannya di tengah putaran hidup yang begitu cepat. Bahkan ada masa-masa di mana kami harus berpisah tempat untuk sementara, karena tugas kedinasan yang menuntutku keluar daerah atau penugasan di tempat yang jauh dari rumah.

Kini, di usia senja ketika tugas-tugas kedinasan mulai lepas, aku seperti mendapat kesempatan kedua. Waktu yang dulu serasa habis, kini mengalir lambat, memberiku ruang untuk benar-benar hadir. Tidak ada lagi agenda padat, tidak ada lagi telepon mendadak dari bos kantor. Yang tersisa hanya kami, di rumah yang nyaman, di bawah atap yang pernah kami bangun bersama dari titik nol.

Di usia seperti ini, saat rambut mulai memutih dan langkah mulai pelan, justru aku merasakan kebahagiaan. Bukan dari liburan mahal atau pesta besar, melainkan dari hal-hal kecil. Menyiapkan teh bersama, berbincang santai di pagi atau sore hari, atau sekadar duduk bersebelahan sambil memperhatikan ayam-ayam bermain di halaman. Kadang, ada gurauan kecil yang membuat kami tertawa seperti dulu, ada juga perdebatan ringan atau perselisihan yang segera diredakan dengan senyuman.

Aku belajar bahwa cinta itu tidak hilang, ia hanya berganti wajah. Dulu, cinta berwujud debar jantung yang cepat. Sekarang, ia menjadi ketenangan yang hangat, kehadiran yang tidak mencolok tapi terasa sampai ke jiwa.

Aku juga belajar membatasi diri dari keriuhan dunia luar. Bukan karena dunia itu buruk, tapi karena aku tahu apa yang benar-benar berharga. Berharap sisa usiaku dipakai untuk merawat apa yang dulu pernah kami tanam bersama dan mengembangkannya lebih intens. Aku ingin lebih sering mengucapkan terima kasih, lebih bersyukur, lebih perhatian dan mendengarkan, serta lebih sering benar-benar hadir.

Ternyata, di penghujung perjalanan ini, aku menemukan bahwa pulang bukan hanya soal tempat. Pulang adalah tentang hati yang menetap, tentang memilih untuk tetap tinggal, untuk tetap mencinta, dalam segala keterbatasan dan keindahan yang sederhana.

Dan dalam keheningan sore, dalam tawa kecil yang kami bagi, aku tahu di sinilah, di sisi orang yang sejak awal bersamaku, aku benar-benar telah sampai di rumahku yang sesungguhnya. ***

Suheryana Bae, pengamat sosial, tinggal di Ciamis, Jawa Barat.