ZONALITERASI.ID – Warna-warni Pandawa Lima tersusun rapih di atas layang teater terbingkai kayu berukir. Di bawahnya, sebuah dingklik menjadi saksi keriangan empunya dua belas tahun lalu saat belajar menceritakan kisah Mahabarata. Pemiliknya adalah seorang dalang cilik (kecil) yang menyandang disabilitas perkembangan intelektual bernama down syndrome, Rafa Kusuma Atma Wibowo. Ia mengenakan blangkon batik khas daerah asalnya, Kota Pelajar, Yogyakarta.
Down syndrome yang ia alami bukan halangan untuk mengembangkan bakatnya dalam dunia pedalangan. Saat berada di atas panggung dengan wayang dalam genggaman mungilnya, ia selalu berhasil memukau penonton. Setiap gerakan dan sabetan yang dilakukannya layaknya dalang profesional. Ayah Rafa, Ludy Bimasena Wibowo, menceritakan kisah putranya melawan belenggu down syndrome. Itu diawali dari keinginannya untuk mengembangkan kemampuan motorik Rafa.
“Anak down syndrome itu banyak mengalami keterbelakangan, dalam berpikir dan bertindak,” ungkap pria berumur 53 tahun itu.
Dia pun menjelaskan bagaimana cara Rafa mengantisipasi hal tersebut, yaitu melalui pelatihan dan stimulasi.
“Harus berlatih sinkronisasi pendengeran dengan pikiran, lalu dengan gerakan. Karena saya orang Jawa ya, awalnya saya kenalkan dengan jathilan. Namun akhirnya kami memilih wayang,” sambung Ludy.
Selain sebagai bentuk intervensi dini, Ludy memilih kesenian tradisonal tersebut karena keinginannya untuk melestarikan budaya Indonesia.
“Saya memang belum pernah menonton pertunjukan wayang semalaman, apalagi sampai memainkannya,” ungkap Ludy.
“Tapi saat saya masih remaja, sekitar tahun 1980-an, saya senang sekali membaca komik wayang. Saya rasa minat anak sekarang sudah turun kepada hal itu. Jadi saya ingin membantu melestarikan dengan mengajarkannya kepada Rafa,” kata Ludy.
Down Syndrome, Peniru Hebat
Menurut Ludy, orang dengan down syndrome adalah peniru hebat. Walaupun tidak bisa menginisiasi, tetapi bisa dilatih dan harus mendapatkan dukungan dari lingkungan sekitar. Oleh karena itu, ia membiasakan Rafa sejak umur 4 tahun untuk menonton VCD pertunjukan wayang Ki Anom Suroto. Hal itu mendorong dalang cilik tersebut untuk latihan memainkan wayang secara autodidak melalui video.
“Dulu pernah dikenalkan dengan mahasiswa jurusan pedalangan. Maksud saya agar bisa menjadi tentor. Tapi pada akhirnya enggak bisa. Pendekatannya berbeda dan sulit komunikasinya,” kisah Ludy.
“Kemudian dia belajar sendiri lewat laptopnya, dipasang sambil ditirukan. Bahkan kalo lagi seneng bisa aja dia main setiap saat, pagi, siang, sampai malam,” tuturnya.
Rafa, memang bukan seorang dalang cilik biasa. Ludy mengungkap bahwa Rafa sebenarnya tidak mengenal nama-nama wayang. Dia cukup menghafal bentuk tiap wayang dan ketukan suara gamelannya. Dengan menonton cuplikan-cuplikan lakon yang menggunakan musik berirama cepat secara berulang kali, Rafa dengan mudah dapat mengingat persis gerakan yang harus dilakukan.
Bocah asal Dusun Babadan, Banguntapan, Kabupaten Bantul ini sering kali tampil pada pentas seni dan lomba. Bahkan, kadang ia menjadi satu satunya peserta difabel. Salah satu pengalamannya adalah ketika berkesempatan untuk mendalang pada acara perayaan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) 2023 oleh Dinsos DIY, Selasa, 12 Desember 2023.
Kala itu, dalang cilik down syndrome tersebut membawakan lakon “Durno Gugur” karya Ki Enthus Susmoni. Walaupun Rafa memiliki kesulitan berbicara, dia tetap berusaha untuk mengisi suara wayangnya dengan dialog. Penyuka kesenian Jawa ini tampil dengan penuh kepercayaan diri di hadapan ratusan penonton, termasuk Kepala Dinas Sosial DIY, Endang Patmintarsis.
Melewati Fase Stres dan Duka
Ketika Rafa masih dalam kandungan, Ludy dan istrinya tidak mengetahui bahwa putranya mengidap down syndrome karena keterbatasan teknologi pada zaman itu.
“Dulu, tahun 2008 tidak ada mesin yang bisa mengidentifikasi down syndrome. Sekarang jelas ada. Bahkan, di beberapa negara boleh aborsi jika janinnya cacat,” kata Ludy.
“Tapi kalau pun dikasih pilihan untuk mengugurkan, tidak akan kami lakukan. Satu karena agama dan budaya, dua karena mau bagaimanapun, Rafa tetaplah anak kami,” lanjutnya.
Oleh karena itu, saat Rafa lahir, Ludy kaget sekali. Berat dan panjang badan anak itu di bawah angka normal, membuat ayah dan ibunya tercengang. Ludy mengungkapkan bahwa dia dan pasangannya sempat melewati sebuah fase stress dan duka. Namun pada akhirnya, masa itu berlalu ketika mereka mampu menerima kelahiran buah hatinya dengan lapang dada.
“Saya tidak lama sedihnya. Walaupun saat itu cukup susah untuk memperoleh informasi terkait down syndrome, saya dan istri segera mencari tahu tentangnya. Lebih banyak artikel dari luar, sehingga harus kami translate.” ujar Ludy.
Dalam eksplorasinya itu, Ludy menemukan organisasi Persatuan Orang Tua Anak Down Syndrome (POTADS) dan Yayasan Down Syndrome Insani (YDSI). Dirinya telah menjadi anggota aktif POTADS sejak tahun 2012 dan YDSI sejak tahun 2022 lalu. Keduanya bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai disabilitas intelektual. Saat lahir, anak-anak down syndrome lebih rentan terkena beberapa kondisi medis seperti kelainan fungsi jantung, pernapasan, dan pendengeran.
“Dulu saat umurnya masih 3 tahun, ia sempat terkena penyakit peradangan paru-paru, pneumonia. Dikasih obat, dan minumnya lumayan lama, karena saat pertama kali dikasih, ternyata kurang mempan sehingga dosisnya harus dua kali,” kata Ludy.
Inspirasi Daya Juang
Rafa melewati masa kecil yang cukup berat karena hal tersebut, Namun, karena semangat juang dan gaya hidup sehat, penyakit itu tidak terbawa saat ia tumbuh besar.
“Orang itu sering salah paham jika mengetahui tentang hobi mendalang Rafa. Ditanyakan lakon yang dimainkan apa, seberapa lama mainnya, tapi tidak. Rafa itu tidak bisa bicara, jadi dia hanya memainkan wayang. Ketika pentas pun sama, dia tidak main berjam-jam, namun hanya cuplikan lakon selama beberapa menit. Kalo saya bisa membuat istilah sendiri mungkin namanya mayang. Main wayang,” kata ayah dari dalang cilik tersebut.
Walaupun masyarakat awam kerap bingung dengan cara mendalang anak tersebut, itu tidak menjadi hambatan bagi Rafa untuk terus melakukan apa yang ia senangi. Dengan meneruskan bakatnya ini, Rafa menjadi terpancing untuk bicara dan melatih kemampuan gerak tubuhnya. Menurut ayahnya, sesuatu yang awalnya dianggap sebuah kekurangan, justru merupakan kelebihan. Namun tidak semua orang sependapat pada hal itu.
“Rafa itu umurnya sudah 16 tahun, tapi sekarang masih kelas VIII SMP. Logikanya, memang seharusnya dia berada di kelas X SMA,” tutur Ludy dengan nada rendah.
Ternyata, putranya itu sempat berhenti sekolah saat SD selama 2 tahun dan dialihkan dengan homeschooling (sekolah di rumah). Ludy juga mengungkapkan bahwa anak-anak sekitar rumahnya ada yang masih sering mengolok-olok dan mengejek Rafa. Kondisi seperti itu membuatnya kesulitan untuk mencari sekolah. Terdapat banyak sekolah yang tidak mau menerima seorang anak down syndrome tanpa shadow teacher, atau guru yang selalu mendampingi anak. Belum lagi kekhawatiran soal perundungan kepada siswa berkebutuhan khusus.
Pada akhirnya, Rafa dapat diterima di kelas tekstil SLB (Sekolah Luar Biasa) Pembina Yogyakarta. Tetapi dengan berat hati, dua tahun lamanya ia belajar di rumah tidak diakui.
Memutuskan Tali Kebencian
Anak dengan down syndrome sering kali dipandang rendah dibanding anak lain sehingga tak sedikit orangtua berkecil hati dan malu dengan keadaan anak mereka. Padahal dengan pengasuhan tepat, anak down syndrome memiliki kesempatan sama dengan anak lain untuk meraih peluang kesuksesan.
Begitulah kenyataan pahit yang diungkapkan oleh wali kelas dalang cilik tersebut, Yeni Ekawati. Ia mengatakan bahwa jumlah anak-anak tunagrahita yang kurang mendapatkan respons positif dari lingkungan sekitarnya sangat tinggi.
“Orang tua Rafa menyadari bahwa anaknya memiliki bakat, dan mereka mendukungnya. Tidak semua anak berkebutuhan khusus seberuntung itu. Banyak keluarga yang justru menyembunyikan putra putri mereka, dan tidak dianggap,” kata Yeni.
“Parahnya lagi, masih banyak orang tua yang menganggap tidak ada gunanya menyekolahkan anak difabel. Padahal di sini itu SLB negeri, sehingga tidak memungut biaya. Saya sedih melihatnya,” ucap perempuan setengah baya tersebut.
“Kami di sini berusaha semaksimal mungkin untuk memfasilitasi kebutuhan anak-anak. Jurusan dan kelas pun banyak, dan dibagikan berdasarkan minat. Semoga, pandangan masyarakat mengenai anak berkebutuhan khusus dapat segera berubah,” tutur Yeni dengan menekankan setiap anak berhak untuk sekolah.
Setali tiga uang, apa yang diucapkannya persis dengan pesan Ludy. Dengan tekad dalam matanya, ia menyampaikan misinya untuk menyadarkan keluarga yang memiliki anak down syndrome agar tidak malu pada keturunannya.
Menurut dia, mereka harus diberi kesempatan untuk belajar dan berseni yang sama dengan anak lainnya.
“Mereka itu juga manusia. Punya perasaan, punya pikiran, punya panca indra. Sudah saatnya kita memutuskan tali kebencian terhadap anak down syndrome,” tutup Yeni. ***
Azalea Dawnika Harleen, siswa SMAN 5 Yogyakarta, finalis FLS2N 2024 Bidang Jurnalistik.
Sumber: Kompas.com