Kuliah Umum FST UIN Bandung bersama KPK, Wakil Rektor: Jangan Sampai Terlihat Religius namun Terjerumus Tindakan Korup

IMG 20250519 WA0039 2048x1153 1
Fakultas Sains dan Teknologi (FST) UIN Bandung menyelenggarakan Kuliah Umum bertajuk “Mengenali Gratifikasi dan Konflik Kepentingan serta Peran Whistleblowing System (WBS)”, di Gedung Anwar Musaddad, Senin, 19 Mei 2025. (Foto: Dok.UIN Bandung)

ZONALITERASI.ID – Fakultas Sains dan Teknologi (FST) UIN Sunan Gunung Djati Bandung menyelenggarakan Kuliah Umum bertajuk “Mengenali Gratifikasi dan Konflik Kepentingan serta Peran Whistleblowing System (WBS)”, di Gedung Anwar Musaddad, Senin, 19 Mei 2025.

Kuliah umum ini menghadirkan narasumber Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI), Dr. Ir. Wawan Wardiana, M.T.. Acara dipandu oleh Ketua Lembaga Penjaminan Mutu (LPM)/Ketua Tim Penguatan Integritas UIN Bandung, Prof. Dr. H. Ija Suntana, M.Ag.

Kuliah umum diikuti oleh lebih dari 700 peserta yang terdiri dari dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa.

Wakil Rektor I UIN Bandung, Prof. Dr. H. Dadan Rusmana, M.Ag., menyampaikan apresiasinya terhadap FST sebagai pilot project dalam penerapan Zona Integritas (ZI) menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK), di lingkungan UIN Bandung.

Prof. Dadan menegaskan pentingnya pendidikan antikorupsi sebagai bagian dari ikhtiar kolektif dalam menciptakan lingkungan akademik yang bersih dan berintegritas.

“Saya diminta oleh Rektor untuk menyampaikan sambutan, sebagai bentuk dukungan terhadap komitmen zona integritas. Sejarah amar ma’ruf nahi munkar menjadi inspirasi kita semua. Banyak kisah tentang kejujuran, amanah, dan keteladanan yang harus kita teladani. Jangan sampai kita terlihat religius, namun terjerumus dalam tindakan korup,” tegasnya, dilansir dari laman UIN Bandung, Sabtu, 24 Mei 2025.

Prof. Dadan menekankan perlunya meminimalisir tindakan tidak terpuji di lingkungan kampus, termasuk dalam proses akademik seperti bimbingan skripsi, tesis, dan disertasi.

“Untuk itu integritas harus menjadi budaya yang terus dijaga oleh seluruh sivitas akademika,” ujarnya.

Pada kesempatan sama, Dekan FST UIN Bandung, Prof. Dr. Hasniah Aliah, M.Si., mengungkapkan, kuliah umum ini merupakan bagian dari strategi besar dalam pembangunan integritas di lingkungan fakultas.

“Selama empat tahun terakhir, FST menjalankan upaya pembangunan zona integritas demi pelayanan terbaik dan transformasi birokrasi. Kuliah umum ini sangat penting untuk memperkuat pemahaman tentang gratifikasi, konflik kepentingan, serta peran Whistleblowing System (WBS) sebagai sarana pelaporan yang aman dan terpercaya,” ucapnya.

Prof. Hasniah menandaskan, pendidikan antikorupsi telah diintegrasikan ke dalam kurikulum, seperti dalam mata kuliah Pancasila dan MKDU Keislaman, dan diakui dalam eviden SKP dosen.

Pencegahan korupsi dalam lingkungan akademik, sesuai dengan arahan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).

“Pendidikan antikorupsi telah diintegrasikan ke dalam berbagai mata kuliah, seperti Pancasila dan MKDU keislaman,” sebutnya.

Kampus Memiliki Peran Strategis

Sementara Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK RI, Wawan Wardiana, yang menjadi narasumber kuliah umum memaparkan secara komprehensif pentingnya integritas di dunia pendidikan melalui tema “Kampus Berintegritas: Tolak Gratifikasi dan Konflik Kepentingan”.

Menurutnya, kampus memiliki peran strategis sebagai agen perubahan dalam membentuk karakter antikorupsi sejak dini.

Pemberian parsel hari raya, bingkisan, oleh-oleh, atau hadiah kepada tenaga pendidik sering kali dianggap wajar oleh sebagian masyarakat sebagai bentuk ungkapan terima kasih. Namun, budaya yang tampak biasa ini menyimpan potensi melemahnya integritas di lingkungan pendidikan.

Merujuk Pasal 5 huruf K Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, aparatur sipil negara (ASN) dilarang menerima hadiah yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaannya.

Selanjutnya Dadan menyebutkan, Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024 menunjukkan praktik gratifikasi dan konflik kepentingan masih menghantui dunia pendidikan, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.

Mengacu kepada data survei tersebut, sebanyak 65 persen satuan pendidikan — mulai dari sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi, hingga sekolah Indonesia di luar negeri — menyatakan bahwa pemberian bingkisan atau hadiah kepada tenaga pendidik masih sering terjadi, terutama pada momen hari raya atau kenaikan kelas.

Lebih memprihatinkan, 22 persen satuan pendidikan mengungkapkan bahwa pemberian tersebut dilakukan dengan tujuan tertentu, seperti agar siswa mendapat nilai lebih baik atau diluluskan.

“Masih ada 30 persen guru atau dosen, serta 18 persen pimpinan satuan pendidikan, yang menganggap gratifikasi dari siswa atau wali murid sebagai hal yang lumrah. Ini berbahaya, karena bisa menjadi celah awal praktik korupsi kecil yang dinormalisasi dari generasi ke generasi,” ujarnya.

Edukasi Masyarakat

Dadan menuturkan, KPK bersama Program Penguatan Antikorupsi (PAK) terus mengedukasi masyarakat tentang bahaya serta jenis-jenis tindak pidana korupsi, termasuk gratifikasi yang sering disalahpahami.

Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, terdapat tujuh jenis utama tindak pidana korupsi, yaitu:

– Kerugian Keuangan Negara
– Penggelapan dalam Jabatan
– Perbuatan Curang
– Benturan Kepentingan dalam Pengadaan
– Suap Menyuap
– Pemerasan
– Gratifikasi

Selain itu, terdapat tindak pidana terkait, seperti memberi keterangan palsu, menghalangi pemeriksaan, dan menyalahgunakan identitas pelapor.

KPK menekankan pentingnya membedakan antara gratifikasi, suap, dan pemerasan, karena meskipun serupa, ketiganya memiliki karakteristik yang berbeda:

– Gratifikasi: Pemberian tanpa kesepakatan, biasanya sebagai “tanam budi”, dan berkaitan dengan jabatan penerima.

– Suap: Ada kesepakatan antara pemberi dan penerima, dilakukan secara rahasia dan tertutup.

– Pemerasan: Permintaan sepihak oleh pihak yang memiliki kekuasaan, dilakukan dengan tekanan atau paksaan.

“Menurut Pasal 12B ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berkaitan dengan jabatan dan bertentangan dengan tugasnya, dianggap sebagai suap dan dapat dikenai sanksi pidana. Salah satu fokus kampanye KPK adalah mencegah rasionalisasi terhadap penerimaan gratifikasi,” terangnya.

“Berbagai alasan yang terdengar ‘manusiawi’ seperti ‘sekadar tanda terima kasih’, ‘dikasih dengan ikhlas’, atau ‘hanya budaya ketimuran’ sering kali dijadikan pembenaran. Bahkan ada yang beralasan ‘projek sudah selesai’ atau ‘semua orang juga menerima’. Padahal, pembenaran ini bisa menyesatkan dan melanggar hukum,” sambung Dadan.

KPK mengklasifikasikan pemberian ke dalam tiga kelompok:

1. Bukan gratifikasi, contohnya konsumsi acara, goodie bag, atau oleh-oleh seminar yang bersifat umum. Boleh diterima dan tidak wajib dilaporkan.

2. Gratifikasi dalam kedinasan, seperti akomodasi dari pihak pengundang yang tidak dibiayai instansi. Boleh diterima, tetapi wajib dilaporkan.

3. Gratifikasi dianggap suap, hadiah dari pihak yang berkepentingan terhadap jabatan penerima. Itu harus ditolak, atau dilaporkan bila tak bisa ditolak.

Dua Kategori Gratifikasi

Kata Dadan, mengacu pada Peraturan KPK RI No. 02 Tahun 2019, gratifikasi dibagi menjadi dua kategori:

– Wajib dilaporkan, jika berkaitan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban, seperti uang, barang mewah, atau fasilitas eksklusif dari pihak berkepentingan.

– Tidak wajib dilaporkan, jika tidak terkait jabatan dan tidak bertentangan dengan tugas, seperti makanan ringan atau cendera mata umum tanpa nilai strategis.

“KPK mendorong seluruh pegawai negeri dan penyelenggara negara untuk bersikap cermat, berani menolak gratifikasi yang dilarang, dan disiplin dalam pelaporan. Kesadaran kolektif terhadap hal ini merupakan fondasi penting dalam membangun pemerintahan yang bersih, profesional, dan bebas korupsi,” ujarnya.

“Gratifikasi merupakan sumber konflik kepentingan. Konflik kepentingan dapat mendorong terjadinya pelanggaran. Setiap konflik kepentingan diasosiasikan dengan permasalahan korupsi,” pungkas Dadan. (des)***