Menengok Aktivitas Keseharian Mahasiswa Jatinangor (2-Habis)

6165204487958
Ilustrasi warung makan, (Foto: SHUTTERSTOCK).

ZONALITERASI.ID –  Kalau sudah menyangkut urusan perut, revolusi bisa terjadi. Namun, itu biasa terjadi di ranah politik. Lalu, bagaimana hubungan antara dengan pola makan mahasiswa di warung makan dengan revolusi? Di sinilah posisi penting dari keberadaan warung makan yang tidak dipisahkan dengan geliat aktivitas kehidupan mahasiswa di Jatinangor, Kabupaten Sumedang.

Konon, setiap akhir bulan, mahasiswa yang memiliki kantong pas-pasan akan berhadapan dengan masa-masa memprihatinkan. Selain, uang di saku sudah kempis, untuk meminjam ke kawan-kawan sesama mahasiswa pun, tak mudah untuk dilakukan.

“Mau minjam kepada mahasiswa yang terlihat kemampuan ekonominya ada di atas kita, gengsi atuh! Imej kita di mata mereka bisa turun. Namun, untuk meminjam ke kawan-kawan senasib juga, ya kasihan. Mereka juga kan lagi bokek,” kata mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (Unpad), Syaeful Nugraha (23), kepada Zonaliterasi.id, baru-baru ini.

Kata Saeful, karena urusan perut tak bisa ditawar-tawar, terpaksa dia melakukan jalan pintas, nganjuk ke warung makan.

“Urusan makan mah sangat mendesak. Jika tidak segera dipehuhi, pengennya marah-marah melulu. Imbasnya konsentrasi untuk kuliah menjadi terganggu. Wajar jika ada yang mengatakan, jika urusan perut tidak segera terpenuhi, yang namanya revolusi bisa segera terjadi. Kondisi itu juga terjadi pada diri saya yang berlatar belakang ekonomi pas-pasan. Harapan negara yang diembankan kepada saya untuk menjadi agen of change atau agen perubahan, tak mungkin bisa diwujudkan,” kata Syaeful sambil senyum di kulum.

Mahasiswa lainnya Beben Nur Fajar (23), mahasiswa semester VI Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin) mengatakan, antara dia dengan warung makan ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Bagi mahasiswa asal Cianjur ini, warung makan menjadi pelengkap hidup yang tidak bisa dipisahkan dari aktivitasnya sebagai mahasiswa perantauan.

Beben mengungkapkan, sebagai pecinta warung makan, dia sudah tahu betul warung makan mana saja yang menyajikan makanan yang sesuai dengan forsi mahasiswa.

“Di dekat kampus, ada warung makan yang rasa makanannya enak-enak. Namun, bukan itu saja, yang lebih penting harga makanannya murah-murah. Bahkan, jika lagi kepepet, bisa nganjuk pula. Pokona mah tiasa diajak badami,” kata Beben.

Namun, ternyata, selain ada warung makan yang menyediakan fasilitas nganjuk kepada para mahasiswa, seperti warung makan Nu Sasari, di Jalan Caringin, ada juga warung makan yang tak mau menyediakan fasilitas itu.

Warung makan yang lokasinya tepat di pinggir Jalan Raya Jatinangor, di dekat Kampus Ikopin dan IPDN, justru anti mengutangkan makanan kepada konsumen.

“Daripada nagihnya susah, lebih baik bayar crung-creng saja. Lebih baik begini, lebih aman,” kata pemilik warung, Zaki (35).

Dia menuturkan, pengalaman yang tidak mengenakkan soal mahasiswa yang tidak membayar utang nganjuk makan ini pernah dia hadapi 4 tahun lalu. Saat itu, kata Zaki, ada mahasiswa yang setiap hari nganjuk  makan di warung miliknya. Selama sebulan penuh mahasiswa ini ber-nganjuk ria. Karena bermodalkan saling percaya, dia tak rewel menghadapi mahasiswa ini. 

“Namun, saya begitu jengkel  saat di bulan berikutnya, si mahasiswa ini tak muncul-muncul ke warung. Setelah diselidiki, ternyata mahasiswa ini sudah pindah kossan. Soal pindah ke mana, saya tak mendapat  informasi jelas . Yang pasti, sampai saat ini pun si mahasiswa ini tak muncul-muncul. Utang dia ke warung saya yang mencapai Rp. 1 juta tak pernah dibayar. Bablas …,” pungkas Zaki. (dede suherlan)***