ASSALAMU’ALAIKUM, pagi parents, kegiatan Minggu pagi ngapain aja nih? Mudah mudahan bisa bersenang senang dengan keluarga ya, biar besok full energy.
Dari sharing kemarin ada yang bertanya tentang ‘blind spot‘. Ini menarik karena banyak dari kita sebagai orang tua dan juga sebagai pribadi yang belum menyadari blind spot-nya.
Jika kita mengendarai sebuah mobil, tatapan kita fokus ke depan, kita hanya bisa melihat area belakang, samping kiri dan kanan hanya dengan bantuan cermin. Itu pun areanya terbatas. Oleh karena itu seringkali ketika parkir seorang sopir mengeluarkan kepalanya keluar jendela untuk melihat ke belakang lebih jelas.
Begitu pun dalam diri kita, jika dalam outbond kami di awal sering menjelaskan tentang teori Johari Window, di mana kita sebagai manusia terdiri dari 4 jendela. Jendela pertama yaitu diri kita yang orang lain tahu juga diri kita sendiri tahu atau dinamakan public area.
Ada lagi area yang kedua yaitu diri kita yang orang lain tidak tahu tapi diri kita tahu atau dinamakan hidden area (area yang belum kita ungkapkan pada orang lain).
Nah, yang ketiga ini yang saya maksud yaitu blind area yaitu area di mana kita tidak tahu tapi orang lain mengetahui, salah satunya kekurangan kita, perilaku kita yang tidak nyaman di mata orang lain, pola asuh kita yang kurang nyaman di mata anak.
Dan area yang terakhir adalah area di mana diri kita sendiri maupun orang lain tidak mengetahuinya, disebut unknown area. Inilah yang selalu manusia cari dalam hidupnya yaitu jati diri, the meaning of life, purpose of life.
Kembali lagi ke blind area/blind spot, kadang karena keegoisan kita, tidak mau menerima dan menyadari akan kurangnya diri kita sebagai orang tua, seringkali kita mencari pembenaran, mencari alasan. “Kan bunda seperti ini ke kamu tuh karena sayang”, “Dulu juga ayah dididik keras oleh kakek akhirnya ayah jadi kuat”, dan sebagainya.
Lalu gimana caranya kita tahu blind spot kita? Ada beberapa cara:
1. Minta feedback dari lingkungan sekitar.
Kadang teman/pasangan/anak sungkan memberikan feedback negatif karena tidak ingin menyakiti hati kita, namun kita mintakan demi kebaikan diri kita untuk diberikan feedback walaupun negatif. Setiap feedback itu kita resapi, rasakan lalu kita coba introspeksi untuk menjadi lebih baik lagi kedepan
2 Asesmen.
Jika lingkungan belum siap atau belum punya momen tepat untuk saling memberikan masukan, kita bisa memanfaatkan asesmen mandiri, di mana kita coba introspeksi diri dibandingkan dengan standar yang seharusnya orang tua lakukan. Dari daftar standar tersebut kita bisa menyelami di mana kelebihan dan kekurangan kita, sehingga bisa dijadikan bahan refleksi diri (muhasabah) yang efektif untuk jadi orang tua yang lebih baik.
(Ayah Abatasa/Fauzi Nugraha)***