DALAM lintasan sejarah, kecerdasan diagungkan sebagai cahaya peradaban. Sekolah-sekolah dibangun, buku-buku ditulis, dan gelar-gelar disematkan demi menjunjung tinggi nilai akal budi. Namun anehnya, di balik kemajuan dan gegap gempita dunia pendidikan, kebodohan justru tetap hidup—bahkan sering kali berjaya. Di sisi lain, ada saat-saat tertentu ketika seseorang yang mengaku terdidik justru mempertontonkan sendiri kebodohannya melalui sikap, ucapan, bahkan keputusan-keputusannya. Kebodohan itu tidak selalu bersuara keras; kadang ia bersembunyi dalam ketidakpedulian, dalam pembiaran, atau bahkan dalam kompromi atas nilai-nilai kebenaran.
Sejarah memberi kita cukup banyak contoh. Dalam The Republic, Plato menggambarkan bahwa negara akan rusak ketika para filsuf tidak berkuasa dan para penguasa bukanlah filsuf. Ia mengkritik sistem demokrasi yang dapat memberi ruang bagi orang-orang tanpa kapasitas untuk memimpin, hanya karena mereka pandai memanipulasi massa. Bahkan di era modern, sejarah Jerman di awal abad ke-20 menunjukkan bagaimana masyarakat terdidik pun bisa diam—atau mendukung—saat Adolf Hitler, dengan propaganda dan manipulasi psikologis, membawa kehancuran atas nama kebesaran bangsa.
Ironisnya, kebodohan kerap tampil dalam rupa kekuasaan. Ia meminjam tangan orang lain untuk memukul, memanipulasi, dan memaksakan kehendak. Menumpang pada struktur sosial yang cacat, di mana orang-orang bodoh atau yang berperilaku bodoh justru mendapat tempat terhormat. Tidak jarang, kekuasaan jatuh ke tangan mereka yang tidak bijak—yang mendaki tangga kekuasaan dengan jalan pintas, memanfaatkan kebodohan orang banyak atau membeli kesetiaan dengan uang. Ketika kekuasaan bersatu dengan kebodohan, kerusakan pun nyaris tak terhindarkan.
Sejarah Romawi mencatat bagaimana kekuasaan sering menjadikan pemiliknya lebih jahat. Sebab terkadang, justru karena kebodohanlah seseorang mampu melakukan kejahatan dengan begitu brutal—karena ia tidak menyadari dampaknya, atau tidak cukup peka terhadap penderitaan orang lain. Bahwa kejahatan besar bisa dilakukan oleh orang biasa yang tidak berpikir kritis dan hanya menjalankan tugas tanpa hati nurani.
Pertanyaan besarnya: mengapa kebodohan justru dipelihara? Mengapa orang-orang yang sesungguhnya cerdas rela menggadaikan kecerdasannya hanya demi kenyamanan sesaat, popularitas semu, atau sekadar rasa aman dalam sistem yang tidak menuntut keberanian berpikir jernih? Mengapa begitu sedikit yang memilih untuk mencerdaskan, membangun, dan memelihara akal sehat di lingkungannya? Apakah karena terlalu sulit, terlalu melelahkan, atau karena mereka sendiri telah larut dalam arus yang menenggelamkan logika dan nurani? Dan mengapa orang-orang bodoh begitu nyaman dalam kebodohannya, serta enggan berusaha untuk menjadi cerdas?
Mungkin kebodohan bukan semata kekurangan pengetahuan. Kebodohan bisa jadi pilihan sadar, bisa pula menjadi hasil dari pembiaran kolektif. Sebab pengetahuan tanpa keberanian hanya akan menjadi pajangan. Dan kecerdasan tanpa akhlak tidak lebih dari senjata yang bisa melukai siapa saja, termasuk pemiliknya. Seperti yang diperingatkan Albert Einstein, “The world will not be destroyed by those who do evil, but by those who watch them without doing anything.”
Di sinilah pentingnya bukan hanya orang-orang yang cerdas, tetapi juga mereka yang baik akhlaknya—yang bersedia berdiri tegak di tengah arus yang membujuk untuk menyerah. Mereka yang menggabungkan nalar yang jernih dengan hati yang bening.
Orang tidak hanya harus tahu mana yang benar, tetapi juga berani menyuarakannya. Tidak cukup memahami apa yang seharusnya dilakukan, tapi juga harus benar-benar melakukannya. Dan mereka yang sungguh ingin membenahi dunia, biasanya memulainya dari dirinya sendiri.
Mungkin benar bahwa sepanjang sejarah, kebodohan sering kali menguasai kecerdasan. Mungkin pula benar bahwa orang cerdas bisa dibodohi oleh orang bodoh, ketika mereka kehilangan kepekaan nurani. Tapi sejarah juga mencatat bahwa perubahan besar justru dimulai dari satu dua orang yang berani—bukan sekadar cerdas, tapi juga tulus dan tegas dalam menolak kebodohan. Dunia tidak akan berubah hanya karena kita tahu mana yang salah. Dunia berubah ketika ada yang berani berdiri dan mengatakan, “Cukup sudah”. ***
Suheryana Bae, pemerhati sosial, tinggal di Ciamis, Jawa Barat.