Berpikir Simbolik

WhatsApp Image 2023 03 05 at 17.55.19
Dadang A. Sapardan, Camat Cikalongwetan Kabupaten Bandung Barat, (Foto: Dok. Pribadi).

Oleh Dadang A. Sapardan

SETIAP orang harus menyertakan kehati-hatian dan kecermatan dalam menafsir substansi yang terkandung atas simbol. 

Menjelang tidur, mata mengeksplorasi tulisan tentang Gus Dur di internet. Dalam tulisan tersebut diungkapkan bahwa satu ketika Zastrow mendampingi Gus Dur dalam ceramah di suatu tempat. Selesai ceramah, tuan rumah membekali Gus Dur dua kotak bingkisan dengan ukuran yang berbeda, satu kecil dan lainnya besar. Karena selepas ceramah Gus Dur harus menuju Jakarta, Zastrow langsung mengantar Gus Dur ke bandara.

Di bandara Gus Dur membagi bingkisan yang diterimanya, yang besar dibawa Gus Dur dan yang kecil diberikan kepada Zastrow. Sesampainya di rumah, Zastrow membuka bingkisan tersebut yang ternyata isinya lauk-pauk. Sedangkan di Jakarta, Gus Dur membuka bingkisan bawaannya yang ternyata isinya hanya nasi.  Sambil tertawa Gus Dur memberi tahu Zastrow bahwa itulah resikonya ketika berpikir simbolik.

Kejadian yang dialami Gus Dur bersama Zastrow tidak tertutup kemungkinan pernah pula melanda setiap orang dalam kehidupan ini. Prediksi awal yang dipancangkan sebagai dasar lahirnya ekspektasi, ternyata tidak sesuai dengan kanyataan yang ada. Kenyataan tentang substansi yang dikandung oleh simbol tersebut bisa jadi melahirkan kekecewaan.

Berpikir simbolik merupakan pola pikiran yang mengarah pada lahirnya prediksi sebagai cikal bakal terbangunnya ekspektasi atas tampilan luar yang kasat mata. Oleh sebagian besar orang, substansi objek dipahami sebagai representasi yang diwujudkan dalam tampilan bentuk, gambar, gerakan, atau benda. Dengan kata lain, objek kasat mata mewakili substansi yang terkandung di dalamnya.

Kenyataan bagaimana ketidakpiawaian seseorang dalam menafsirkan simbol-simbol kasat mata, sering dialami dalam kehidupan keseharian yang multidimensi. Fenomena tersebut dapat teralami dalam konteks kehidupan politik, ekonomi, bahkan sosial sekalipun.

Dalam koneks kehidupan perpolitikan, tidak jarang masyarakat kecele oleh tampilan para calon yang berlaga untuk memperebutkan kursi-kursi jabatan politik tertentu. Masyarakat terbius oleh kemasan tampilan luar atau sosok simbolik dari para calon. Dalam pandangan mata sebagian besar masyarakat, tampilan baik sebagai bagian dari propaganda yang diperlihatkan para calon merupakan representasi substansi di dalamnya.

Dalam konteks kehidupan ekonomi, cukup banyak didengar tentang konsumen yang terkecoh oleh promosi masiv dan manis dari pedagang. Barang yang diperkirakan akan sesuai dengan ekspektasi konsumen, ternyata melenceng jauh. Fenomena keterkecohan konsumen tersebut melahirkan ungkapan sumpah serapah yang merepresentasikan ketidakpuasan konsumen. Keterkecohan tersebut terutama sering sekali terjadi pada transaksi perdagangan dengan moda daring.

Demikian pula, dalam konteks kehidupan sosial, kita tidak jarang terkecoh oleh tampilan orang-perorang yang dalam keseharian berada di sekitar. Orang yang terlihat berpenampilan biasa-biasa saja, ternyata bukanlah orang biasa, tetapi orang yang penuh dengan letupan-letupan hasrat yang mampu dibungkus rapi dengan kamulflase yang apik.

Menyikapi upaya permainan bahkan pengelabuan atas eksistensi berpikir simbolik, dibutuh energi yang sangat banyak untuk dapat menafsirkan tampilan simbol yang berada di depan mata. Setiap orang harus menyertakan kehati-hatian dan kecermatan dalam menafsir substansi yang terkandung atas simbol. Dengan demikian, fakta atas objek simbolik tidak meleset terlalu jauh dari tafsiran yang dipancangkan. ***

Dadang A. Sapardan, Camat Cikalongwetan Kab. Bandung Barat.

 

Respon (129)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *