BUDAYA  

Cerpen Pertemuan

Karya Eha Rohayati

1268
(Ilustrasi: Kawaiibeautyjapan.com)

PERKULIAHAN sudah dimulai untuk semester pertama. Dewinta sudah menjadi mahasiswa IPB jurusan Teknologi Pangan. Anira ibunya merasa sepi setelah ditinggalkan anaknya Dewinta yang kost di Bogor. Setiap minggu Anira nengok anaknya, sambil melengkapi kebutuhan di kostannya. Kontrakan Dewinta sengaja dekat kampusnya,  bila ada jadwal sore tidak susah mencari kendaraan untuk pulang dan tidak kena macet.  Semua keperluan untuk kuliah dan kontrakan sudah tak ada masalah. Anira pulang karena besoknya sudah masuk kerja. Tak terasa enam bulan berlalu Dewinta kuliah. Anira sedang membuat laporan kegiatan kelas sekolah tempat dia mengajarnya. Terdengar ponselnya berbunyi.

“Dewi, ada apa ya, ko telepon?”  Bisiknya dalam hati. Ponsel pun diangkatnya..

“Ya, hallo  ada apa sayang?”

“Assalamulaikum, Mah. Lagi apa Mah?”

“Biasa ini buat laporan kegiatan kemarin Wi,  ada apa telepon Mamah sayang tumben malam-malam,” tukas Anira sambil menutup laptopnya.

“Ini Mah, orang tua harus ke kampus khusus untuk jurusan Dewi hari Sabtu. Bisa kan Mah?”

“Sabtu besok, bisa kebetulan tak ada acara. Ya Jumat sore ke Bogornya,” lanjut Anira. Setelah ngobrol telepon ditutup. Waktu sudah menunjukan pukul sembilan lebih.        

Kampus biasanya tak seramai  hari Sabtu itu. Banyak kendaraan yang terparkir di parkiran kampus. Dewinta dan Anira sudah sampai di ruang aula. Para orang tua mahasiswa sudah banyak yang hadir.

“Mah, Dewi tunggu di perpus ya, sekalian mau cari referensi tugas kemarin. Kalau sudah bubar WA aja!”

“Ya, Wi. Mamah  masuk sudah banyak orang tua yang datang, hati-hati ya Nak!”  Anira berjalan mencari kursi yang masih kosong. Kebetulan yang kosong ada di pinggir tengah.

“Maaf Pak, ini masih kosong kursinya?” tanya Anira kepada seorang laki-laki di sebelahnya. Laki-laki itu sedang sibuk dengan ponselnya. Ia hanya mengangguk sambil tangannya menyilakan tak melihat Anira. Anira duduk di sebelahnya.  Panitia acara sudah masuk untuk memulai acara. Diikuti para pembicara dari pihak kampus yang akan membeberkan informasi ke orang tua mahasiswa.  Dua jam telah usai. Panitia menyilakan orang tua untuk mengambil snack yang disediakan kemudian mengisi daftar hadir di ruangan depan. Anira langsung ke ruangan yang telah ditunjukkan.

“Silakan Ibu mengisi daftar hadirnya dengan nomor ponselnya untuk mempermudah komunikasi dengan orang tua mahasiswa!” Anira mengambil balpoin. Ketika akan melihat nomor ponsel Anira kaget handphonenya tidak ada di tas.

“Maaf Bu, saya mau cari dulu ponselnya mungkin ketinggalan di kursi tadi,” sambung Anira sambil buru-buru pergi ke ruangan Aula. Di ruangan Aula sudah tidak ada. Anira menanyakan ke panitia kalau-kalau menemukan ponselnya.

“Oh, iya tadi Bu ada yang menemukan tapi tidak memberikan ponselnya hanya menitipkan kartu namanya saja,” jawab ketua panitia sambil memberikan sebuah kartu nama.

Anira menerima sambil membaca yang tertera di kartu nama. Bachtiar Jl. Cemara 2.

“Rasanya familiar dengan nama itu, ah bukan…bukan.”  Gumam Anira sambil mengingat nama itu. Ia keluar aula mungkin orangnya masih ada. Tapi yang mana tadi tidak melihat wajahnya.  Anira mencari lokasi perpustakaan untuk mencari Dewinta.

“Wi handphone Mamah ketinggalan. Tapi ada yang bawa dia ngasih kartu nama. Ini alamatnya dan nomor ponselnya. Susul aja atau gimana?”

“Mamah ko bisa ketinggalan. Ga disimpan di tas?”

“Tadi acara akan dimulai, Mamah fokus acara, lupa handphone dipakai dan tak dimasukan tas mungkin.”

“Coba miss call aja ya Mah, siapa tahu orangnya masih di sekitar sini!”

“Nyambung Mah, tapi ga diangkat!”

“Ada WA nya ga itu.  WA saja nanti dia baca. Mungkin lagi sibuk atau sedang di jalan.”

Dewinta memberikan handphone-nya ke Anira. Ia membuka WA anaknya.  Setelah menulis, mereka langsung pulang ke kontrakan. Mandi, solat sekalian makan siang. Dewinta memeriksa WA-nya. Belum ada jawaban. Masih centang dua. Terkirim.

“Mah, ini pegang aja handphone-nya, Dewi mau ke kostsan teman itu yang di lantai tiga. Mau kerja kelompok.”

“Ya, sudah sana, Mamah tunggu aja mana tahu orang itu membuka WA-nya. Duh gimana tuh orang pakai dibawa segala padahal titipkan di panitia, ” gerutu Anira.

Sambil nonton acara televisi Anira membuka-buka majalah.

Dertttt… derrttt..- ada pesan WA yang masuk. Nomor baru. Anira membuka pesan WA-nya.

[Assalamulaikum, maaf ini dengan siapa dari mana]

[Waalikum salam, ini dengan Anira,  yang ketinggalan hand phone Pak. Saya Anira tadi maaf ditelepon dan di-WA sama nomor anak saya.  Bapak di mana ya?]

[Oh ya Bu, maaf tadi saya menemukan ponsel ibu di bawah kursi. Mau  ke panitiakan  takutnya ibu tak ke sana lagi, ya saya inisiatif aja titip kartu nama.”]

[Ya, Pak terima kasih. Tapi kapan ya saya bisa ambil handphone saya itu. Bisakah sekarang soalnya besok harus pulang lagi ke Sukabumi.”]

[Begini aja bu, saya sekarang lagi di luar lagi ada kegiatan lapangan. Besok ibu mau pulang ke Sukabumi, kebetulan saya juga ada tugas mau ke Sukabumi. Nanti saya jemput saja di mana bu?]

[Aduh ga usah Pak, jadi merepotkan. Saya biasa naik kereta api Pak. Agak pagi. Gimana ya jadi ga enak!]

[Tidak apa-apa Bu, saya besok ke statsiun ya, ibu tidak usah naik kereta api. Bareng saya saja. Kendaraan kosong.”]

[Ya, kalau tak merepotkan   terima kasih Pak, saya menunggu di statsiun jam 7 pagi.] WA ditutup.           

Jam tujuh Anira sudah di statsiun diantar Dewinta. Tak lama Dewinta pamit karena ada kegiatan kampus. Setelah pamitan Dewinta kembali  lansung pergi ke kampusnya.

Sebelum Dewinta pergi Anira telah memberikan kabar ke Pak  Bachtiar bahwa ia sudah di statsiun. Lima belas menit datang sebuah mobil Portuner hitam. Dia menuju ruang tunggu. Sambil larak-lirik seperti ada yang dicari.

“Oh, itu dia katanya pakai kerudung merah, itu mungkin.” Gumanya sambil bergegas menuju seorang wanita yang sedang duduk membelakanginya.

“Maaf ini dengan Ibu Anira?”

“Euu… Euuu… Iya Pak…” Anira  melihat yang menyapa. Matanya menatap tak berkedip. Begitu juga laki-laki itu.

“Pak Bactiar ini? “

“Betul, ini Anira?” Keduanya saling tunjuk sambil berjabat tangan.

Ada haru di antara keduanya. Anira tak kuasa membendung bulir bening. Begitu juga Bachtiar. Sepuluh tahun yang lalu tak ada komunikasi. Tak ada kabar berita. Jejak pun tak ditemukan. Kini bertemu kembali. Pertemuan yang tidak disangka-sangka. Tidak disengaja. Dua hati yang sama menyimpan rasa yang tak pernah pupus. Kini seolah tunas-tunas harapan bersemi kembali.

Setelah cerita kabar masing-masing, dengan senda gurau melepas kangen sepuluh tahun tak bertemu. Seakan  sudah bertemu lama. Seakan seperti sepuluh tahun ke belakang. Panggilan pun kembali seperti dahulu.

“Yang, kita pulang sekarang sudah siang. Rumah masih yang dulu kan?”

Anira hanya mengangguk. Sedih,  terharu, gembira, bahagia bercampur aduk.

“Mas, siapa yang masuk kuliah, sudah punya anak lagi?”

“Bukan, Yang. Itu anak adik ipar. Kebetulan  bapaknya lagi tugas luar kota, ibunya lagi kurang sehat. Anakku baru SMA kelas sebelas.”

“Mas sudah berkeluarga lagi?”

“Belum, tak taulah. Aku ingin mengurus anakku dulu sampai selesai kuliah.”

“Kamu Yang, gimana?”

“Sama ku juga. Lebih tenang begini.”

“Tak disangka ya kita bisa ketemu lagi. Jodoh kali ya?” tukas  Bachtiar sambil tersenyum.

“Ya, mungkin doa-doaku terkabul. Aku berdoa agar dipertemukan dan bisa komunikasi lagi seperti dulu.”

“Aku juga begitu, selalu terselip doa agar kita bisa berkumpul kembali, entah dengan cara apa, ya mungkin dengan cara begini. Rapat orang tua mahasiswa.”

“Kenapa belum punya pendamping lagi, atau masih menunggu beliau?”

“Enggaklah, aku sudah tak berharap dia lagi, biarlah semua menjadi masa laluku, Yang!”

“Besok ada cara tidak, kalau tak ada kita ke Pelabuhanratu ya?”

“Besok tidak ada, acara apa ke sana?”

“Ya, acara kita aja, refresing kita bakar ikan, rasanya kangen bakar ikan!”

“Oh gitu, boleh jam berapa, aku nunggu di mana?”

“Besok aku jemput saja ya, aku datang sudah siap langsung otw  jam delapan pagi!” Anira mengiyakan.           

Deburan ombak, terjangannya mengikis bibir pantai. Berkejaran tak hentinya. Perahu nelayan terombang ambing di tengah samudra luas. Kadang menepi balik lagi ke tengah balik lagi ke daratan. Seperti kehidupan, ada suka ada duka, ada perpisahan ada pertemuan. Begitulah hidup. Begitu juga dengan Anira dan Bachtiar. Dipertemukan kembali.Sepuluh tahun mereka seolah sudah melupakan. Tapi sebenarnya saling membutuhkan, hanya lewat doa dan kesibukan masing-masing mereka seolah melupakanya, tapi hati tetap bersama.

“Yang, aku kangen banget, sejak aku kemarin baca di daftar hadir. Aku yakin nama itu adalah kamu Yang.”

“Aku tak menyangka orang yang duduk di sampingku di aula itu Mas sendiri, yang selama ini kuharapkan bertemu kembali.”

“Yang, kamu  tak berubah tetap seperti yang aku kenal dulu. Selalu ceria dan penuh perhatian.”

“Hatiku pun masih sama, ko Mas.”

“Sungguh, Yang aku lelaki yang gagal berumah tangga!”

“Sudahlah itu semua sudah suratan takdir, mungkin di balik itu ada hikmahnya.”

“Gimana dengan Sayang, masih ada adakah ruang hati buat satu hati yang selalu berharap.”

“Aku  masih seperti yang kau kenal dulu, selalu ada buatmu.”

“Maafkan ya selama sepuluh tahun tak ada komunikasi. Pekerjaan dan keluarga perlu perhatian yang serius. Anakku sudah beranjak remaja perlu bimbingan dan perhatian. Aku takut kejadian yang menimpa mamahnya terulang ke anakku, Yang.”***

#smi,2/01/21

Eha Rohayati, lahir di Tasikmalaya 15 Agustus. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMPN 2 Sukaraja, Kabupaten Sukabumi.

Respon (167)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *