Oleh Dede Suherlan
SAAT menghadiri “Silaturahmi Idul Fitri Aptisi Wilayah IVA Jabar, ABPPTSI Wilayah Jabar dan Banten, LLDikti Wilayah IV Jabar”, di Aula Aptisi Wilayah IVA, Cimencrang, Bandung, beberapa waktu lalu, artis kawakan yang juga mantan Wakil Gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar, sempat melontarkan ceritera soal curhat seorang kyai.
Begini ceriteranya. Di suatu negeri, hiduplah seorang kyai bersama istri, anak, dan ratusan santri. Sang Kyai ini memiliki pondok pesantren yang mendidik calon-calon kyai. Kepada santri-santri inilah Sang Kyai memiliki harapan besar agar mereka menjadi penerus syiar Islam dengan cara mendirikan pesantren dan menjadi kyai.
Seiring berjalannya waktu, dari pondok pesantren yang dipimpin Sang Kyai ini, setiap tahun lahirlah alumni santri yang kembali terjun ke tengah masyarakat. Tentu setelah menjadi alumni santri dan tidak lagi mondok di pesantren, beragam aktivitas dijalani oleh mereka. Ada yang mendirikan pesantren dan ada juga yang memilih bekerja di bidang pekerjaan lain. Dan, yang membuat hati Sang Kyai gusar, sebagian besar dari alumni santri itu justu berprofesi sebagai buruh pabrik.
Nah, melihat kondisi begitu, Sang Kyai curhat kepada Deddy Mizwar. Begini isi curhatnya, ”Saya mengajar di pesantren sudah puluhan tahun. Hingga kini saya masih bertanya-tanya, apakah saya akan masuk surga? Saya merasa tidak berhasil menjadi pengemban syiar Islam melalui pondok pesantren. Sebagian besar dari alumni santri di pondok pesantren ini, justru lebih memilih menjadi buruh pabrik. Mereka tidak merealisasikan cita-citanya untuk mendirikan pondok pesantren dan menjadi kyai, seperti yang saya lakukan puluhan tahun lalu.”
Itu sekelumit ceritera yang jika ditelaah ada benang putih yang menjadi saripati dari ceritera yang mengupas nasib Sang Kyai ini. Intinya, pergumulan batin yang begelora dalam hati Sang Kyai dipicu karena ia merasa gagal melaksanakan proses pendidikan. Tujuan awal untuk mencetak calon-calon kyai namun berujung hadirnya rasa galau. Pesantren menjadi “penghasil” buruh pabrik.
Kendati kondisi itu dikemas dalam bentuk ceritera curhat Sang Kyai, namun itu bisa dihubungkan dengan kondisi rumitnya persoalan lapangan kerja saat ini. Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat menyebutkan, pada 2018, dari 2,7 juta angkatan kerja baru sebanyak 495.143 atau 5,4 % di antaranya disumbang oleh lulusan perguruan tinggi (PT).
Untuk menyikapinya, muncul pertanyaan? Bagaimana sikap rektor dan dosen melihat kondisi itu? Kalau kyai mah rada mendingan, alumni pondok pesantren yang ia kelola masih ada aktivitas sebagai “produsen” buruh pabrik. Sementara lain ceritera dengan lulusan PT, sebanyak 495.143 sarjana lontang-lantung mencari pekerjaan.
Melihat kondisi itu, muncul lagi pertanyaan susulan. Mengapa sarjana yang menganggur begitu menjubel? Apakah tidak ada peluang pekerjaan? Atau, soal peluang bekerja pastilah ada. Namun, Sang Sarjana ini banyak berharap menjadi pegawai, baik pegawai swasta maupun pegawai negeri sipil (PNS), dibandingkan membuka peluang usaha sendiri alias berwirausaha.
Ya, jumlah lulusan PT yang bermimpi menjadi pegawai, apalagi menjadi PNS, memang sangat tinggi. Masih berdasarkan data BPS Pusat, hingga 2018, 82,2 % lulusan PT lebih memilih bekerja sebagai pegawai. Sedangkan 17,8 % lainnya berprofesi sebagai entrepreneur atau berwirausaha.
Dalam situasi begini, kebijakan Direktorat Kemahasiswaan Ditjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemendikbudristek yang memrioritaskan perhatian kepada mahasiswa yang berminat berwirausaha, sungguh melegakan. Selain menggelar pelatihan kewirausahaan, Direktorat Kemahasiswaan melakukan kerja sama dengan berbagai perusahaan. Sehingga, mahasiswa yang hendak membuka usaha, tak lagi dibingungkan dengan urusan permodalan.
Realitas itu mungkin bisa merangsang mahasiswa yang suatu hari nanti akan menjadi alumni mahasiswa untuk berwirausaha. Menggantungkan masa depan dengan bercita-cita menjadi pegawai, ya wajar-wajar saja. Namun, tak hanya itu, untuk menjadi entrepreneur pun terbuka lebar. Jangan sampai Bapak dan Ibu dosen bernasib sama seperti Sang Kiai, curhat kepada Deddy Mizwar karena merasa telah gagal melangsungkan proses pendidikan. Selepas lulus kuliah, Sang Mahasiswa itu malah menjadi pengangguran.***
Dede Suherlan menempuh pendidikan terakhir di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS IKIP Bandung (sekarang UPI). Saat menuntut ilmu di IKIP Bandung, ia bergabung mengelola Surat Kabar Mahasiswa Isola Pos. Selepas kuliah bekerja di beberapa media, yaitu Harian Umum Galamedia (Group Pikiran Rakyat), Harian Pagi Bandung Ekspres (Jawa Pos Group), Rmoljabar.com (Rakyat Merdeka Group), dan Jabarnews.com. Kini, mengelola laman Zonaliterasi.id.