Menggagas Revitalisasi Bumdes/Bumdesma

Oleh Dadang A. Sapardan

IMG 0209 Copy1
Dadang A. Sapardan, Camat Cikalongwetan, Kabupaten Bandung Barat. (Foto: Dok. Pribadi)

PADA satu waktu berkesempatan ngobrol ringan dengan beberapa orang kepala desa di Cikalongwetan. Obrolan berkenaan dengan penyikapan regulasi baru tentang penggunaan dana desa. Dalam regulasi tersebut diungkapkan bahwa dana desa yang diterima setiap desa harus diproyeksikan untuk program ketahanan pangan. Jumlah dana yang diproyeksikan pada program itu paling rendah 20% dari dana desa yang diterima. Sebagaimana lazimnya kelahiran kebijakan baru, selalu memicu diskursus terkait upaya menyikapinya. Seluruh kepala desa yang hadir menyampaikan berbagai tafsiran tentang pemanfaatan dana untuk program ketahanan pangan. Penggunaan dana sebesar itu tidak bisa dilakukan dengan mekanisme sebagaimana dilakukan selama ini. Dana sebesar itu harus diimplementasikan dengan menggunakan tangan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes), Badan Usaha Milik Desa Bersama (Bumdesma), atau lembaga ekonomi lainnya. Sebuah pilihan dilematis yang harus dihadapi oleh para kepala desa.

Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) dan Badan Usaha Milik Desa Bersama (Bumdesma) menjadi bahan perbincangan berbagai pemangku kebijakan pada level desa dan kecamatan. Kenyataan itu dilatari dengan terbitnya Permendes PDT Nomor 2 Tahun 2024 tentang Petunjuk Operasional atas Fokus Penggunaan Dana Desa tahun 2025 yang secara eksplisit memberi peran lebih terhadap lembaga usaha desa tersebut untuk mengelola Dana Desa yang akan dikucurkan pada tahun 2025. Selain kepada kedua lembaga usaha dimaksud, peran bisa diberikan pula oleh Pemerintahan Desa pada kelembagaan ekonomi masyarakat di desa.

Mengacu pada Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Bumdes adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. Sedangkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa Bumdes dimaknai sebagai badan hukum yang didirikan oleh Desa dan/atau bersama Desa-Desa guna mengelola usaha, memanfaatkan aset, mengembangkan investasi dan produktivitas, menyediakan jasa pelayanan, dan/atau menyediakan jasa usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat.

Dari deskripsi di atas bisa diambil simpulan bahwa Bumdes/Bumdesma merupakan lembaga usaha Desa dengan orientasi perolehan laba. Dari laba yang diperolehnya, diproyeksikan sebagai deviden untuk Pemerintahan Desa. Karena itu, Bumdes/Bumdesma menjadi motor penggerak yang dapat memberi kontribusi terhadap jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB-Des) pada Pendapatan Asli Desa (PA-Des). Posisi ini berbanding terbalik dengan Pemerintahan Desa yang memiliki tugas utama menyelenggarakan urusan pemerintahan serta memberi pelayanan terhadap kepentingan masyarakat. Dalam tata kelola Pemerintahan Desa, lebih dititikberatkan pada pelayanan dan pembangunan masyarakat dengan menihilkan adanya keuntungan finansial dari pemberian pelayanan tersebut

Pemeranan Bumdes/Bumdesma dalam pengelolaan dana desa bukanlah hal baru. Sejak lama, lembaga ini didorong oleh Pemerintah untuk didirikan oleh setiap Pemerintah Desa sebagai lembaga usaha desa yang berorientasi perolehan laba sehingga dapat memberikan deviden terhadap Pemerintahan Desa. Deviden yang diberikan oleh Bumdes/Bumdesma menjadi bagian dari penerimaan melalui Pendapatan Asli Desa (PA-Des).

Sekalipun demikian, selama beberaapa tahun belakangan ini keberadaan Bumdes/Bumdesma seakan lenyap tertelan hiruk-pikuknya tata kelola Pemerintahan Desa. Lembaga ini tidak mendapatkan perhatian serius karena dilatarbelakangi dengan berbagai fenomena dan alasan. Dari sekian banyak desa, hanya beberapa desa yang memiliki Bumdes dengan tata kelolanya profesional sehingga bisa diandalkan untuk berkontibusi terhadap PA-Des. Selebihnya, Bumdes hanya semacam pajangan yang keberadaannya hidup segan, mati tak mau.

Penerbitan regulasi dari Kemendes PDT memberi angin segar dan semangat baru bagi Bumdes/Bumdesma. Dengan lahirnya regulasi tersebut Bumdes/Bumdesma dimungkinkan untuk mengelola dana yang diproyeksikan oleh Pemerintah Desa untuk program ketahanan pangan. Tidak tanggung-tanggung, Dana Desa yang memungkinkan dikelola oleh lembaga dimaksud minimum 20% dari penerimaan Dana Desa oleh setiap Desa. Jumlaah yang sangat besar untuk sebuah lembaga ekonomi sekelas Bumdes/Bumdesma.

Angka minimal 20% dari kucuran Dana Desa untuk dukungan program ketahanan pangan bukan angka sedikit. Setiap desa harus mengalokasikan anggaran Dana Desa pada fokus ini mencapai ratusan juta rupiah. Kucuran dana untuk mendukung program ketahanan pangan ini menjadi sesuatu yang baru sehingga melahirkan keresahan dan keraguan dari setiap Pemerintahan Desa. Kenyataan itu dihadapi karena Bumdes/Bumdesma yang dimilikinya tidak dapat menunjukkan performa sebagai lembaga usaha yang dapat diandalkaan.

Sampai saat ini, masih ada Pemerintahan Desa yang didera keraguan karena melihat permasalahan yang dihadapi Bumdes-nya masing-masing. Sedangkan dalam regulasi secara tersurat diungkapkan bahwa penggunaan dana tersebut harus melibatkan Bumdes, Bumdesma, atau kelembagaan ekonomi masyarakat di desa.

Terkait dengan Bumdes/Bumdesma, sampai saat ini tidak sedikit Pemerintahan Desa yang sama sekali belum memiliki Bumdes dengan berbagai alasan. Salah satu alasan krusialnya adalah keraguan Pemerintahan Desa terhadap perjalanan Bumdes/Bumdesma yang didirikannya. Ragu akan berjalan mulusnya Bumdes/Bumdesma sebagai motor penggerak usaha Desa yang dapat memberikan deviden terhadap Pemerintahan Desa. Hal itu terjadi karena berkaca pada keberadaan Bumdes/Bumdesma pada desa lainnya, jangankan memberikan deviden, suntikan modal yang diberikan kadang tidak jelas keberadaannya.

Pada beberapa Pemerintah Desa yang sudah memilikinya, Bumdes/Bumdesma yang didirikan masih menghadapi fenomena mati suri, hidup segan mati tak mau. Bumdes/Bumdesma yang telah dibentuk hanyalah nama, karena minim aktivitas usaha sehingga melahirkan pesimistis untuk melakukan pengambangan Bumdes/Bumdesma.

Terkait dengan tuntutan regulasi yang memberi peran lebih terhadap Bumdes/Bumdesma guna mengelola dana untuk sektor program ketahanan pangan, sedangkan Bumdes/Bumdesma yang didirikan berada dalam kondisi yang kurang baik-baik saja, langkah yang harus ditempuh oleh Pemerintahan Desa adalah melakukan merevitaliasi terhadap keberadaannya. Revitalisasi dimaksudkan untuk menstimulasi lembaga usaha ini agar dapat bergerak sehingga bisa merespons ketentuan yang dituangkan dalam regulasi tentang pemanfaatan Dana Desa.

Salah satu langkah pertama merevitalisasi adalah melakukan pengkajian mendalam terhadap permasalahan yang selama ini mendera Bumdes/Bumdesma sehingga hanya bisa jalan di tempat, bahkan mati suri. Berdasarkan hasil pengkajian tersebut dibuat kebijakan strategis dengan harapan lembaga ini benar-benar bisa menjalankan usaha dengan baik sehingga dapat memperoleh laba usaha yang menjadi deviden terhadap Pemerintahan Desa.

Berkenaan dengan upaya merevitalisasi ini bukan tidak mungkin Pemerintahan Desa melakukan restrukturisasi pengelola Bumdes/Bumdesma. Dalam upaya menyelaraskan dengan program ketahanan pangan melalui suntikan dana yang cukup besar, Pemerintah Desa harus mampu menempatkan orang-orang profesional dalam pengelolaan Bumdes/Bumdesma. Tipikal pengelola profesionallah yang dimungkinkan dapat membawa dan mengidupkan Bumdes/Bumdesma menjadi lembaga usaha.

Akhirnya, upaya Pementahan Desa dalam rangka mendirikan, menghidupkan, serta menguatkan peran Bumdes/Bumdesma menjadi langkah strategis yang harus segera dilakukan, sehingga program ketahanan pangan dapat segera terealisasikan. ***

Dadang A. Sapardan, Camat Cikalongwetan, Kabupaten Bandung Barat.