Asmujiono, Pengibar Merah Putih di Puncak Tertinggi Dunia Everest Himalaya

IMG 7231
Asmujiono saat berada di puncak Everest Himalaya, Nepal, 26 April 1997, (Foto: ANTARA).

ZONALITERASI.ID – Dengan berpakaian lengkap satuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat, Asmujiono, terlihat mengatur puluhan warga RW 01, Desa/Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang yang akan mengikuti upacara bendera HUT RI ke-78, pada Kamis, 17 Agustus 2023.

“Merdeka!” pekik Asmujiono dengan rona wajah penuh semangat.  Pria kelahiran Kota Malang, 1 September 1971 itu, memendam rasa yang begitu dalam. Rasa patriotisme Asmujiono kembali tergugah di moment hari kemerdekaan ini.

Ya, beralasan jika ada asa yang menggelegak di jiwa Asmujiono. Pria yang pernah menjadi anggota Kopassus dan pensiun dengan pangkat terakhir sersan kepala (serka) ini, pernah merasakan moment mengibarkan bendera merah putih di puncak tertinggi di dunia, Everest Himalaya, Nepal pada tahun 1997.

“Perasaan saat mengibarkan merah putih itu antara hidup dan mati, haru dan sedih. Namun saya merasa bangga. Terharu dan bangga, saya bisa mewujudkan keinginan Indonesia mengibarkan merah putih di puncak tertinggi dunia,” kata Asmujiono, dilansir dari Antara.

Seleksi Ketat

Diketahui, Asmujionao mengikuti pendidikan Kopassus tahun 1993 dan lulus pada 1994. Dia mendapatkan tugas pertama di wilayah Timor Timur.

Asmujiono mendapatkan pengalaman berharga, saat bergabung dalam tim Everest 1997. Tim ini dibentuk oleh Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus saat itu, Prabowo Subianto. Adapun misi tim ini yaitu mengibarkan merah putih di puncak tertinggi di dunia, Everest Himalaya.

“Sebelum terpilih masuk dalam tim Everest 1997, saya harus bersaing dengan sejumlah personel Kopassus lain, untuk membuktikan bahwa saya layak diberikan kesempatan menaklukkan gunung yang memiliki ketinggian 8.848 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu,” katanya.

Setelah melalui seleksi ketat, akhirnya Asmujiono menjadi salah satu anggota tim yang beranggotakan 43 orang. Tim yang terdiri dari berbagai unsur (Kopassus TNI AD dan masyarakat sipil) ini diberangkatkan ke Nepal, pada November 1996.

Tim tersebut juga mendatangkan pelatih Anatoly Boukreev dan dokter dari Rusia, termasuk didampingi sherpa terbaik dari Nepal. Tim tersebut melakukan aklimatisasi atau penyesuaian pada kondisi lingkungan, sebelum melakukan pendakian ke Everest.

Tim kembali harus melakukan seleksi sebelum dipastikan mampu melakukan pendakian Everest yang berisiko tinggi. Proses seleksi dijalani dengan cukup berat hingga batas kemampuan manusia.

“Akhirnya, jumlah personel yang dinilai mampu melakukan pendakian Everest saat itu diputuskan sebanyak 16 orang. Dari 16 orang tersebut, 10 di antaranya merupakan anggota Kopassus TNI AD dan sisanya masyarakat sipil,” ujar Asmujiono.

Tim tersebut kemudian dibagi menjadi dua kelompok, yakni Tim Utara dan Tim Selatan. Tim Utara beranggotakan enam orang, sementara Tim Selatan 10 orang. Dibentuknya dua tim tersebut bertujuan untuk menaklukkan Everest dari dua arah.

Asmujiono yang saat itu berpangkat prajurit satu (pratu), bergabung dengan Tim Selatan bersama Sersan Satu (Sertu) Misirin dan Letnan Satu (Lettu) Iwan Setiawan. Dari 10 orang di Tim Selatan, hanya tiga orang itu yang dinyatakan siap untuk mendaki puncak Everest.

Saat melakukan persiapan untuk pendakian Everest, tiga orang tersebut melakukan latihan perjalanan dari sejumlah titik kumpul (basecamp). Pada saat menjalani sesi persiapan tersebut, Asmujiono sempat terkena gejala radang dingin atau frostbite.

Perjuangan Hidup Mati

Perjalanan tim Everest 1997 menuju puncak tertinggi dunia dari basecamp 4, dilakukan pada 26 April 1997 kurang lebih pukul 00.00 waktu setempat. Asmujiono sempat merasakan nyeri di punggung dan masalah pada tabung oksigen miliknya sebelum melakukan pendakian tersebut.

Dalam pendakian tersebut, Asmujiono, Misirin, dan Iwan Setiawan didampingi oleh dua orang sherpa, serta pelatih dan dokter dari Rusia. Tujuh orang tersebut, memulai perlahan pendakian untuk mencapai atap dunia tersebut.

Pendakian yang menjadi perjuangan hidup mati demi berkibarnya merah putih di puncak Everest tersebut, dilalui Asmujiono dan rekan-rekannya dengan tidak mudah. Lintasan-lintasan berat, harus dihadapi tim yang membawa nama baik Indonesia itu.

Asmujiono beberapa kali sempat diperingatkan oleh pelatih dan sherpa untuk kembali turun karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan. Namun, keinginan Asmujiono untuk mengibarkan Merah Putih di puncak Everest, masih tetap tinggi.

Pada titik itu, Asmujiono juga sempat berpikir jika dia kembali turun dan tidak mampu mencapai puncak, maka hanya kegagalan yang ia terima. Namun, jika memaksakan diri dan meninggal dunia, itu sebuah risiko dalam melaksanakan tugas.

“Kalau meninggal, itu risiko melaksanakan tugas, karena semboyan Kopassus, lebih baik pulang nama, daripada gagal tugas,” kata Asmujiono.

Dia bahkan sempat terpisah dengan Misirin dan Iwan Setiawan. Misirin pada awalnya berada di depan Asmujiono, namun kesulitan untuk melanjutkan pendakian akibat kondisi yang berat. Sementara Lettu Iwan Setiawan juga terjatuh dan tidak bisa melanjutkan perjalanan.

Dengan tenaga tersisa, Asmujiono mengerahkan kemampuan terakhir untuk mencapai puncak. Mendaki dengan gontai, Asmujiono terjatuh dan merasa kesakitan di kakinya. Asmujiono seperti hilang semangat pada saat terjatuh pada detik-detik akhir pendakian itu.

Melihat situasi begitu, pelatih dan sherpa yang berada di belakangnya, berteriak “Asmujiono, summit!” (puncak).
Asmujiono berhasil mencapai Puncak Everest pada 26 April 1997, pukul 15.45 waktu Nepal.

Sadar dirinya sudah berada di puncak dunia, dia kemudian mengamankan diri dengan sebuah tali yang diikat pada badannya karena angin berhembus sangat kencang. Kemudian, dia mengambil bendera merah putih yang ada di dalam tas, untuk dipasang di Puncak Everest.

Dalam kondisi yang ekstrem tersebut, Asmujiono juga menyempatkan diri untuk mengenakan baret merah kebanggaan Kopassus. Ia juga berkeinginan untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya dari ketinggian 8.848 mdpl itu.

“Karena kondisi yang sulit, saya akhirnya menyanyikan lagu Padamu Negeri di dalam hati di puncak Everest. Rasa bangga membalut di dada ini karena telah mampu menyelesaikan tugas mengibarkan merah putih di puncak dunia,” pungkas Asmujiono. (des)***

 

 

 

 

Respon (123)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *