Berretty Sang Plamboyan

Oleh Dinn Wahyudin

FOTO UPI 63
Villa Isola yang kini menjadi Gedung Rektorat Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Konon, gedung ini dibangun oleh DW Berretty, Sang Raja Media di Bumi Putra, (Foto: Istimewa).

KORAN SIPATAHOENAN edisi 22 Desember 1934 mewartakan berita duka. Dalam berita headline-nya, koran terbesar di Tatar Sunda pada waktu itu menulis in memorial atas meninggalnya DW Berretty, Sang Raja Media di Bumi Putra yang juga pemilik Villa Isola di Kota Bandung.

DW Berretty tewas bersama seluruh penumpang lainnya dalam suatu kecelakaan pesawat terbang DC 2 Uiver yang ditumpanginya dalam perjalanan reguler Amsterdam – Batavia, tiga hari sebelumnya.

Sosok DW Berretty juga disebutkan dalam media tersebut sebagai selebriti dan socialita yang dermawan. Wartawan koran Sipatahoenan mengungkap profil Tuan Berretty sebagai berikut. “Kawentar koe hiroepna noe sesa seubeuh. Kawentar koe mere mawehna. Kawentar koe …affairena”. Tuan Berretty terkenal karena tak kekurangan pangan. Terkenal karena kedermawanannya. Dan ia terkenal lantaran banyak skandal asmaranya.

Disebutkan juga oleh Koran Sipatahoenan yang terbit 22 Desember 1934 tersebut, dalam kecelakaan pesawat tersebut bahwa “Noe ngamoedina, tiloe penoempang djeung 51.000 soerat2 keur ka Indonesia leboer jadi leboe”. Pilot berikut tiga penumpang dan 51.000 surat surat untuk dengan tujuan orang di Indonesia, hancur menjadi abu. (Asyik, 2018).

Itulah kilas balik, dari perjalanan hidup sang pemilik nama lengkap Dominique Willem Berretty di akhir hidupnya yang tragis. Ia tewas dalam kecelakaan pesawat terbang di Timur Tengah.

Berretty merupakan anak blasteran dari ayah warga Itali dan ibu asal Jawa toelen. Berkat statusnya sebagai anak keturunan boele dan sinyo blasteran, pemuda tampan ini berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi dan menjadi karyawan Post Telecom En Telegraaf (PTT) serta bekerja nyambi sebagai reporter Koran Java Bode yang berlokasi di Batavia atau Jakarta sekarang.

Unrequited Love

Dengan berbekal pengalaman sebagai reporter media, pada tahun 1917, Berretty mendirikan kantor berita yang diberi nama Algemeen Niews en Telegraaf Agentshap (ANITA) dengan motto keren Altijd nummer Een Trots Alles. “Menjadi nomor satu. Berapapun biayanya.”

Dari kiprah bisnis media inilah, menjadikan Berrety sebagai bos media tajir melintir dan berpenampilan flamboyan dan playboy, yang dikelilingi banyak wanita cantik. Berawal dari sini, kisah love story-nya dan affair-nya bergulir. Berbagai rendevous moments Sang Raja Koran tersebut sering terendus. Ia menjadi kaya raya dan dikelilingi banyak wanita. Konon, semasa hidupnya, ia tercatat telah menikah sebanyak 6 kali.

Ada cerita menarik dari Mang Ucup (2015). Ia seorang netizen yang berdomisili di Belanda dan masih ada ikatan famili dengan keluarga Barretty. Love story dan love affair mendiang DW Berretty terhadap banyak wanita sering diceritakan keturunannya secara turun temurun.

Begini penuturannya. “Sekitar 1932, Barretty yang flamboyan menjalin asmara dengan salah satu putri dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda Cornelis de Jonge di Batavia. Tetapi malang, perjalanan cintanya tak mulus. Cintanya ditolak atau bahasa kerennya unrevitated love. Hubungan asmaranya tak disetujui sang ayah. Perjalanan cinta Berretty dengan putri Sang Gubernur Jenderal kandas di tengah jalan. Berretty tersinggung berat. Ia murka dan merasa dilecehkan. Oleh sebab itu, untuk membuktikan bahwa ia pria terhormat dan layak meminang putri Sang Gubernur Jenderal, ia merencanakan membangun sebuah Istana megah di Bandung.

Kemudian, ia menghubungi seorang arsitek kondang CP Wolff Schoemaker. Ia meminta Schoemaker untuk membangun gedung bak istana nan megah, berapapun harganya. Dalam tempo kurang dari dua tahun, gedung megah tersebut selesai dibangun. Gedung megah dengan fasilitas taman artistik dan kolam luas kemudian dikenal dengan nama Villa Isola.

M’Isolo E Vivo

Seperti dituturkan Mang Ucup, “Jadi sebenarnya Villa Isola itu dibangun atas permintaan khusus Berretty sebagai balas dendam atas cintanya yang ditolak oleh calon mertuanya – Sang Gubernur Jenderal”. Berretty merasa tersinggung berat dan patah hati. Untuk mengenang cinta kasih yang tak berbalas (unrevitated love) itu, ia memasang plakat di ruang masuk pintu utama Villa Isola dengan tulisan menyolok: M’ISOLO E VIVO. Artinya, saya mengucilkan diri, untuk bertahan hidup.

Suatu pernyataan mendalam yang memunculkan misteri. Apakah betul Berretty patah hati ? Kemudian berupaya tampak tegar dengan membangun gedung megah untuk membuktikan bahwa dia sangat mencintai putri Sang Gubernur Jenderal?

Atau dia sedang berobsesi seperti kisah Taj Mahal di India. Kisah-kasih yang melegenda ke seluruh penjuru dunia. Cinta tulus Raja Mughal, Syah Jehan yang memerintah tahun 1628 -1658 terhadap istri tersayangnya. Kisah cinta Sang Raja kepada pramesurinya, Mumtaz Mahal, yang diabadikan dalam arsitektur gedung dan menjadi salah satu keajaiban dunia. Wallahu alam.

Itulah sekilas tulisan M’Isolo E Vivo, yang melekat di atas pintu masuk Villa Isola. Suatu Misteri, dan hanya Berretty yang tahu apa makna yang tersirat dari ungkapan M’Isolo E Vivo tersebut.

Bumi Siliwangi

Putaran jarum jam terus bergulir. Waktu terus bergerak. Pada periode pendudukan Jepang (1942 -1945), gedung Villa Isola beralih fungsi sebagai kediaman sementara Jenderal Hitoshi Imamura.

Pada fase perjuangan nasional mempertahankan kemerdekaan, kawasan Bandung Utara dan juga area Villa Isola, menjadi saksi betapa para pahlawan bangsa berjuang untuk mempertahankan agresi kolonial Belanda. Pertempuran sengit terjadi antara agresor Belanda dan para pejuang Bangsa. Puluhan pejuang menjadi syuhada.

Pada 20 Oktober 1954, Mr. Mohammad Yamin sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP&K) berkenan meresmikan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) di Bandung. Pada kesempatan tersebut Villa Isola berganti nama menjadi Bumi Siliwangi.

Seperti ditegaskan Mohammad Yamin (1954), “nama Bumi Siliwangi menyiratkan cahaya kerohanian dan rasa kepahlawanan. Nama Bumi Siliwangi membawa jiwa pendidik ke alam Pasundan dan memperingatkan kita pada bakti dan jasa para pemuda pejuang pada zaman revolusi kemerdekaan”.

Kini, Bumi Siliwangi menjadi ikon perjuangan. Penyemangat Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) untuk tetap terdepan sebagai kampus perjuangan untuk melawan kebodohan dan keterbelakangan. The leading university in Education.

Itulah perjalanan panjang dari Villa Isola ke Bumi Siliwangi. ***

Dinn Wahyudin, Guru Besar Ilmu Pengembangan Kurikulum Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Sumber: Pui-tvetrc.upi.edu