Ditulis oleh Mang Andi Espe
SUATU ketika saya bertemu seorang petani tua di Rancakalong. Yaah, biar mudah, sebut saja Abah Haji. Lalu ngalor-ngidul ngobrol tentang segala tetek-bengek pertanian. Katanya, petani padi atau panyawah sekarang tidak setelaten panyawah dulu ketika memperlakukan padi dan sawahnya. Bahkan panyawah sekarang mana ada yang bisa membuat binih. Semua serba dibeli, serba barang pabrikan yang disediakan oleh produsen besar.
Sebenarnya saya kurang begitu tertarik dengan obrolan itu. Saya ini bukan panyawah, walau dari kecil hingga remaja saya diajari nyawah oleh kakek. Namun ada sisi lain dari obrolan itu yang membuat saya tertarik, yaitu ketika Bah Haji berkisah tentang tatacara nyawah para karuhun, para leluhur kita di Tanah Sunda ini. Katanya, karuhun punya tradisi ngeundeukeun indung, yaitu proses mengawinkan padi agar kelak bulir padi bisa menjadi benih yang menghasilkan padi lagi. Sekarang mana ada. Kan benihnya beli di toko. Para panyawah tinggal tebar binih saja. Dan satu lagi yaitu tradisi seleksi benih, atau biasa disebut ngalembang binih.
Kata pepatah karuhun, ngalembangkeun binih hanya boleh dilakukan pada waktu yang tepat, yaitu pada saat endog sudah ngapung. Tapi itu dulu. Sekarang tidak ada orang yang mau menunggu endog ngapung untuk ngalembangkeun benih padi. Umumnya panyawah sekarang langsung saja merendam benih untuk kemudian ditebar di lahan pembenihan.
Ah … Ada-ada saja prilaku karuhun kita itu. Melakukan ritual menunggu saatnya endog ngapung, bagaimana bisa? Sampai belut buluan pun tidak mungkin telor bisa ngapung. Tentu saja saya musam-mesem mendengar kisah itu.
Bah Haji berkata agak ketus, mungkin tersinggung dengan musam-mesemnya saya itu. Katanya, ngapungkeun endog itu upaya untuk memastikan kita memperoleh benih padi yang benar-benar berbobot, benar benar berkualitas. Sehingga kelak kita bisa memperoleh padi yang baik dan maksimal. Ngapain kita tanam padi kalau tidak mengupayakan hasil yag baik.
Kata Bah Haji, karuhun kita sangat menghormati Nyi Sri. Oh iya, Nyi Sri atau Sanghyang Seri itu adalah sebutan kehormatan bagi padi, bagi tanaman penghasil makanan utama kita. Para karuhun memperlakukan Nyi Sri seperti memperlakuan anak sendiri, begitu disayang dinangna-nengne. Nah, pada saat mau menanam Nyi Sri, para karuhun berusaha menyeleksi binih terbaik, yang kuat, yang berat, yang besar. Untuk itu mereka melakukan seleksi, dengan cara ngalembang binih.
Ngalembang itu proses merendam benih padi untuk memisahkan bulir yang berat dengan yang ringan. Dengan direndam, diharapkan bulir yang berat tenggelam ke dasar air, dan yang ringan naik ke atas. Tapi rata-rata semua bulir benih itu tenggelam. Maka dari itu, para karuhun meggunakan air larutan garam untuk ngalembang binih. Takaran garamnya harus benar-benar pas, tak boleh lebih tak boleh kurang. Mereka mengukur takaran garam itu dengan memasukan telor ayam ke dalam larutan air garam itu. Jika telornya masih di bawah, artinya garamnya harus ditambah lagi. Jika telornya sudah ngapung, sudah ngalayang naik ke permukaan …, nah itu dia waktu yang pas untuk merendamkan binih padi. Ketika benih dimasukan ke air garam itu, bulir yang benar-benar padat berisi akan turun ke dasar air. Sedangkan yang kurang berat, yang isinya kurang padat, akan melayang ke permukaan. Nah, bulir-bulirĀ padi yang berat itulah yang kemudian ditanam. Kalau bulir yang melayang mah buang saja, paling untuk pakan ayam.
Ooh … Saya pikir ngapungkeun endog kayak gimana gituh. Kalimatnya itu lho, ngapungkeun endog ngalembagkeun binih. Membuat otak saya membayangkan hal-hal mistis. Kalau ngapungkeun endog seperti itu sih, mengigatkan saya pada percobaan hukum archemedes saat di SD. Dulu Ibu Ipa memperagakan percobaan itu pada kami. Cuma masalahnya, kapan Ibu Ipa menjelaskan hal itu pada para karuhun. Ah nyaan, karuhun aing mah pinter. ***