Pengajaran Bahasa Sunda di Sekolah Non-Sunda

Oleh Rudi Riadi

FOTO ARTIKEL 14
Rudi Riadi, (Foto: Dok. Pribadi)

PENGAJARAN bahasa Sunda merupakan pengajaran muatan lokal yang keberadaanya sudah ditetapkan oleh Peraturan Daerah dan merupakan amanat Kongres Bahasa Sunda. Tetapi sayang mata ajar ini masih dianggap anak-tiri oleh sekolah-sekolah tertentu. Hal ini terbukti dengan banyaknya guru bahasa Sunda yang karbitan alias bukan dari bidang akademiknya. Tampak, pelajaran ini hanya sekadar “asal aya” di sekolah, supaya tidak kena damprat dari dinas. Seolah pihak sekolah tidak perlu repot mencari guru asli, guru yang ada saja diberdayakan, asalkan dia bisa berbahasa Sunda. Kalau demikian, mengapa tidak mencoba seorang gelandangan dari London untuk mengajar bahasa Inggris, karena mereka pasti lebih fasih berbahasa Inggris.

Mungkin bisa saja ditolelir, bila guru tersebut adalah lulusan dari jurusan yang satu “genetik”, Jurusan Bahasa Indonesia, misalnya Yang memprihatinkan adalah guru tersebut adalah lulusan yang sama sekali tidak punya “modal dasar” materi, seperti dari jurusan olah raga, kesenian, PKK atau yang lainnya. Beberapa kali saya bertemu dengan guru bahasa Sunda pada seminar yang mengaku sarjana Geografi, PPKn, dan lain sebagainya. Sayang memang, Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah (Sunda) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang setiap tahun menelurkan para sarjananya tidak dimanfaatkan oleh sekolah-sekolah. Mereka malah memilih untuk memanfaatkan guru yang ada.

Tidaklah berlebihan bila Yayat Hendayana mempersoalkan masalah ini (Kompas, 22 Juli 2009). Yayat menyayangkan tentang kurikulum yang sudah tersusun dan tertata tidak benar-benar dimanfaatkan sesuai dengan surat keputusan Gubernur. Kegelisahan penyair Sunda tersebut sangatlah bisa dimaklumi, terlebih masih adanya beberapa SMA yang tidak mengadakan pelajaran bahasa Sunda sebagaimana yang diamanatkan Kongres Bahasa Sunda tahun 2005. Bahasa Sunda seakan merupakan pengajaran benalu yang mengganggu mata pelajaran lain. Di sekolah-sekolah etnik Tionghoa bahkan lebih memilih pengajaran bahasa Mandarin, yang dirasa lebih “nyambung” dan menguntungkan dari sisi bisnis.

Bahasa Sunda Kamalayon

Ketika saya meminta kejujuran siswa, tentang pertanyaan ‘pentingkah belajar bahasa Sunda?’ Ada beberapa anak yang dengan lantang mengatakan tidak penting. Alasannya cukup beragam. Ada yang berpendapat bahasa Sunda bukanlah mata pelajaran yang di-UN-kan, ada juga yang mengatakan bahasa Sunda tidak dipakai dalam kehidupannya sehari-hari. Bahkan ada juga yang berargumen bahwa pelajaran muatan lokal ini hanya sekadar “menggugurkan kewajiban” mereka sebagai siswa.

Itulah sebagian jawaban siswa warga keturunan (Tionghoa). Pernyataan mereka cukup beralasan, karena memang bahasa Ibu mereka bukan bahasa Sunda, sekalipun mereka tinggal di wilayah Jawa Barat yang mayoritas berbahasa Ibu bahasa Sunda.

Tanpa bermaksud menyamaratakan pendapat, mungkin dalam benak para siswapun pada saat itu seperti demikian, tidak hanya yang lantang berpendapat.

Kalaupun mereka menggunakan bahasa Sunda, sangat jelas mereka menggunakan bahasa Sunda loma bahkan kasar. Hal ini dikarenakan, salah satunya karena mereka sering mendengar orang tuanya yang sering menyuruh atau memarahi pembantu yang biasanya orang Sunda.

Melihat hal seperti ini, mengajar bahasa Sunda di sekolah yang mayoritas warga keturunan, tentu harus mempunyai metode yang jitu dan mengena. Pertama, guru harus mengerti tentang siswa yang belum mengerti arti kata, sehingga perlu adanya pembahasan kata lewat Kamus Sunda-Indonesia atau sebaliknya.

Kedua, materi seperti wacana-wacana atau percakapan haruslah kontekstual dengan anak. Seperti kita tahu, bahwa orang tua siswa warga keturunan kebanyakan adalah pengusaha atau pedagang, maka sangatlah bijak bila mereka diberi materi percakapan atau wacana yang berhubungan dengan dagang, seperti cara transaksi jual beli menggunakan bahasa Sunda yang baik atau menawar barang, dan sebagainya. Minimnya buku ajar bahasa Sunda yang tendensinya untuk siswa warga keturunan, memang menjadi kendala sendiri. Tetapi hal ini dapat disiasati, si guru harus membuat bahan ajar wacana dan percakapannya sendiri.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengantar bahasa yang digunakan hendaknya bahasa Sunda campur, atau biasa disebut bahasa kamalayon. Hal ini untuk memudahkan siswa, bila memang ada kata-kata yang dirasa mereka sulit dimengerti. Tidaklah salah bila seorang sastrawan dan wartawan senior Usep Romli HM berpendapat dalam sebuah harian beberapa tahun yang lalu: “yang penting, bahasa Sunda dikenal anak-anak sekolah. Termasyarakatkan dalam bentuk pergaulan sehari-hari. Soal kasar, semrawut, pabaliut dan lain sebagainya tak perlu dipikirkan dulu. …”. Tentu saja secara bertahap kita juga perlu meluruskan bahasa mereka, seperti mengajarkan undak-usuk basa misalnya.

Kendala mengajar bahasa Sunda di sekolah yang siswanya berbahasa ibu bukan bahasa Sunda memang cukup berat, tapi bukan berarti lantas dibiarkan gurunya asal mengajar dan bukan dari jurusannya.

Pengajaran bahasa Sunda jangan dijadikan kambing hitam sebagai mata ajar yang hanya mengganggu porsi pelajaran yang di-UN-kan. Bagaimanapun, dalam beberapa materi, pelajaran ini menawarkan alternatif imaji siswa yang sekarang sudah berlumuran budaya hedonis seperti televisi, internet, dan sejenisnya.***

Artikel ini sebelumnya dimuat di Majalah Guneman

Rudi Riadi adalah pengarang Sunda dan Guru SMA Gamaliel.

Respon (160)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *