Oleh Dadang A. Sapardan
SAMPAI saat ini begitu banyak permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan manusia. Permasalahan yang sering terjadi dan menyeluruh pada berbagai wilayah adalah perusakan lingkungan hidup yang mengusik pelestariannya. Permasalahan perusakan lingkungan hidup ini tidak jarang melahirkan friksi antarpihak yang pro dan kontra. Lebih jauh lagi, perusakan lingkungan mengakibatkan bencana yang merugikan banyak pihak.Keberlangsungan kehidupan manusia tidak terlepas dari peran budaya dan keyakinan masyarakat dalam mengelola lingkungan hidup. Langkah tersebut telah melahirkan masyarakat untuk dapat survive dalam kehidupan hingga saat ini. Berkaca atas keberlangsungan kehidupan masyarakat tersebut, penumbuhkembangan budaya masyarakat yang menjadi kearifan lokal (local wisdom) harus mendapat perhatian serius.
Kearifan lokal yang berkembang di masyarakat, tentunya tidak bisa dibiarkan begitu saja sehingga menguap dalam kehidupan masa kini dan masa depan. Kearifan lokal yang sudah lama cukup berkembang dan mewarnai kehidupan masyarakat telah menjadi sarana ampuh dan strategis dalam menyiapkan mereka untuk dapat survive dalam menghadapi dinamika kehidupan. Dalam keberlangsungan kehidupan ini, peran kearifan lokal sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat telah berperan sangat strategis.
Berkenaan dengan itu, dimungkinkan bahwa penguatan kearifan lokal dilakukan/diimplementasikan dalam proses pembelajaran di sekolah/madrasah. Keberadaan kearifan lokal sebagai kebijakan kontekstual yang berlaku sektoral harus menjadi pemikiran para pemangku kepentingan pendidikan.
Pertanyaan yang lahir adalah mungkinkah kearifan lokal terkait dengan pelestarian lingkungan ini diangkat dan diperkuat kembali dalam konteks kehidupan masyarakat, terutama kepada para generasi muda? Sementara, mereka terpenjara dengan stigma bahwa kearifan lokal merupakan produk ‘kuno’, ‘kampungan’, ‘ketinggalan zaman’, atau istilah lain yang berkonotasi tidak kekinian.
Menguatkan Local Wisdom
Perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab sehingga merusak lingkungan hidup merupakan fenomena yang berlangsung hingga saat ini. Bagaimana mereka dengan semena-mena menebangi pohon di lereng-lereng gunung dengan tanpa berpikir akan efek yang diakibatkannya. Fenomena lainnya yang terkait dengan perusakan lingkungan ini, diperlihatkan pula oleh para pengusaha dengan dalih pembangunan dan pengembangan ekonomi. Mereka berlomba-lomba membangun perumahan pada lereng-lereng gunung yang selama beberapa tahun kondisinya cukup rimbun dengan deretan pohon keras karena tidak terjamah oleh tangan-tangan manusia.
Gambaran tersebut merupakan fenomena kecil dari proses perusakan lingkungan oleh tangan manusia yang berakibat terhadap lahirnya bencana yang menimpa manusia itu sendiri. Rambahan tangan manusia terkait dengan pemuasan syahwat yang mengakibatkan lahirnya kerusakan lingkungan tidak dapat dibiarkan begitu saja, dalam skala kecil sekalipun. Permasalahan tersebut harus dicarikan solusi dan strategi tepat serta komprehensif sehingga kerusakan lingkungan lebih jauh dapat segera ditekan, bahkan dicegah.
Solusi dan antisipasi yang harus secepatnya dilakukan adalah terbangunnya kebersamaan dari setiap unsur terkait dalam mencegah keberlangsungan proses kerusakan lingkungan. Salah satu langkah yang dapat dilakukan di antaranya dengan menggunakan pendekatan kearifan lokal sebagai bagian dari budaya kehidupan masyarakat. Hal itu bisa dilakukan karena didasari oleh asumsi bahwa setiap masyarakat memiliki kearifan lokal yang telah mengakar menjadi budaya masing-masing. Keberadaannya telah menjadi pranata kehidupan masyarakat yang menopang keberlangsungan kehidupan mereka hingga saat ini.
Mengacu pada literatur yang ada, kearifan lokal dimaknai sebagai bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat. Kearifan lokal biasanya diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Walau demikian, tidak seluruh kearifan lokal yang dimiliki dapat dipahami dan diimplementasikan oleh generasi penerusnya. Generasi muda kadang terpenjara dengan kata-kata ‘kuno’, ‘kampungan’, atau ‘ketinggalan jaman’ saat diarahkan untuk memahami dan mengimplementasikannya.
Bila melihat perkembangan kehidupan ini, kearifan lokal merupakan warisan budaya yang memiliki nilai luhur dan bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan. Kearifan lokal inilah yang harus digali lalu ditumbuhkembangkan kembali pada setiap generasi muda, sehingga mereka memiliki kebanggaan dengan kepemilikan kearifan lokal yang bernilai positif tersebut. Kalau dilakukan penggalian kembali, dimungkinkan kita memiliki begitu banyak kearifan lokal yang terkait dengan upaya pelestarian lingkungan. Inilah yang harus dijadikan warisan bermakna bagi generasi masa depan sehingga bisa dijadikan pegangan dan pranata dalam kehidupan mereka pada masa kini dan masa depan.
Selama ini diyakini bahwa suku Baduy merupakan representasi dari suku Sunda yang masih mempertahankan pranata kehidupan tradisonal. Wilayah yang didiami mereka, jarang sekali didera oleh bencana alam yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan. Kondisi demikian dilatarbelakangi oleh kuatnya masyarakat Baduy dalam memegang teguh pranata kehidupan yang berkenaan dengan pelestarian lingkungan. Sampai saat ini mereka masih memegang teguh falsafah ‘gunung ulah diurug, lebak ulah diruksak, panjang ulah dipotong, pondok ulah disambung. Gawir caian, ranca sawahan, tegal pelakan, leuweung hejo, rahayat bisa ngejo’.
Barangkali, kekuatan pada komitmen yang telah ditunjukkan oleh suku Baduy dalam upaya melestarikan lingkungan hidup ini harus menjadi teladan bagi kita semua. Bahkan, keteguhan terhadap komitmen tersebut harus ditularkan pada masyarakat kita, terutama generasi muda. Dengan demikian, keberlangsungan kerusakan lingkungan hidup dapat serta-merta ditekan dan dicegah.
Kebijakan pemberian penguatan pemahaman akan kearifan lokal terhadap masyarakat harus dilakukan bersama oleh berbagai pemangku kepentingan. Upaya penguatan ini tidak dapat dilakukan oleh satu atau dua lembaga semata, tetapi harus dilakukan bersama-sama sehingga hasilnya akan lebih optimal.
Dalam konteks ini, pendidikan merupakan ranah yang bisa berkontribusi terhadap upaya pencegahan kerusakan lingkungan dengan memanfaatkan kearifan lokal sebagai dasar penguatnya. Pendidikan dapat diperankan dalam upaya penumbuhkembangan pemahaman komprehensif akan kearifan lokal terhadap setiap siswa sekolah/madrasah. Berbagai strategi dapat diterapkan dalam program kurikuler yang diselenggarakannya. Salah satu langkah yang bisa dilakukan dalam ranah pendidikan adalah melakukan insersi materi kearifan lokal pada mata pelajaran yang memungkinkan, di antaranya mata pelajaran seni dan budaya atau mata pelajaran lainnya.
Langkah yang mungkin diterapkan pada ranah pendidikan ini tidak akan berarti apa-apa ketika tidak didukung pula oleh pemangku kepentingan lainnya. Treatment yang dilakukan pada ranah pendidikan hanyalah sebatas memberi pemahaman dan penumbuhkembangan kearifan lokal kepada setiap siswa sebagai generasi masa depan. Sedangkan upaya lain yang dibutuhkan adalah pemberian pemahaman dan penumbuhkembangan kearifan lokal kepada masyarakat oleh para pemangku kepentingan lainnya.
Simpulan
Kehidupan manusia tidak terlepas dari peran budaya dan keyakinan masyarakat dalam mengelola lingkungan yang menjadi tempat mereka berkehidupan. Kearifan akan pengelolaan lingkungan hidup menjadi salah satu faktor yang memosisikan mereka untuk tetap dapat survive dalam kehidupan hingga saat ini. Berkaca atas fenomena keberlangsungan kehidupan kehidupan masyarakat tersebut, penumbuhkembangan kearifan lokal sebagai faktor penopang kehidupan harus terus dilakukan dalam berbagai lini kehidupan.
Kebijakan pemberian penguatan pemahaman tentang kearifan lokal terhadap masyarakat harus dilakukan bersama oleh para pemangku kepentingan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pemeranan ranah pendidikan dalam implementasi kurikulernya. Tentunya, upaya penguatan ini tidak dapat dilakukan oleh ranah pendidikan semata, tetapi harus pula dilakukan oleh pemangku kepentingan lainnya, sehingga hasil yang dicapai akan lebih optimal. ***
Penulis adalah Kepala Bidang Pembinaan SD, Disdik Kabupaten Bandung Barat.